LAKUKAN SEGALA SESUATU DENGAN MOTIVASI YANG BENAR
Matius 6:1 “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.
Ayat ini masih bagian daripada kotbah Yesus di bukit. Latar belakang ayat ini adalah tentang sebuah kewajiban keagamaan orang-orang Yahudi mengenai pemberian atau sedekah. Dalam hal ini Yesus memberikan sebuah penekanan yaitu kata “ingatlah” yang dalam bahasa aslinya termasuk kata imperatif yang artinya bukan hanya mengingat dalam pikiran saja, tetapi ini juga sebuah perintah untuk melakukannya.
Melakukan sesuatu tanpa pamrih atau tanpa motivasi lain adalah perbuatan yang kadang tidak mudah dilakukan. Walaupun mulut berkata “aku tulus” tetapi hati tidak bisa berbohong bahwa sebenarnya ingin juga dipuji. Melakukan sesuatu dengan benar seharusnya bukan untuk diembel-embeli suatu tujuan tertentu, namun lahir dari hati yang memang rindu untuk melakukannya karena sudah selayaknya orang benar melakukan kebenaran, karena memiliki Tuhan yang adalah Sang Kebenaran.
Ada orang yang melakukan hal baik karena alasan yang salah. Pada awalnya mungkin terlihat bahwa mereka mencoba melakukan apa yang benar, namun pada akhirnya mereka hanya melakukannya untuk suatu motivasi tertentu demi keuntungan mereka sendiri.
Hal pemberian sedekah merupakan salah satu kewajiban agama yang sudah mengakar dalam masyarakat Yahudi. Semua orang yang tidak tergolong “pengemis” harus memberikan sedekahnya. Itulah sebabnya, Matius 6:1-4 tidak membahas tentang “Apakah sedekah perlu diberikan?,” melainkan “Bagaimana seharusnya memberi sedekah yang baik?”
Ketaatan terhadap hal ini bukan hanya bersentuhan dengan aspek religius, melainkan juga aspek moral dan sosial. Pemberi sedekah tergolong orang yang taat dalam beribadah (religius) dan baik hati (moral). Apa yang dilakukan oleh mereka sangat bermanfaat bagi orang-orang miskin (sosial).
Dalam konteks masyarakat Yahudi yang sudah tidak asing lagi dengan kemiskinan (bdk. Yoh 12:8a “karena orang-orang miskin selalu ada padamu”), nilai penting sedekah tidak dapat diremehkan. Pemberi sedekah ibarat penyambung kehidupan bagi orang-orang miskin. Di tengah situasi semacam ini, dua macam bahaya bisa muncul. Dari pihak penerima sedekah, mereka bisa saja tergoda untuk menggantungkan hidup pada pemberi sedekah (menghargai secara berlebihan). Dari pihak pemberi sedekah, mereka sangat mudah tergoda pada kesombongan (menunjukkan diri sebagai orang yang baik hati dan merasa dibutuhkan). Hal inilah yang diantisipasi dan dikiritisi di Mat. 6:1-2.
Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita. Tuhan ingin kita di dalam melakukan apapun, lakukan segala sesuatunya dengan tulus, benar, tepat, dan tanpa ada motivasi terselubung apapun di dalamnya. Memang ayat yang mendasari pesan Tuhan bagi kita di atas lebih menekankan soal bersedekah, namun inti penekanannya bukan semata-mata kepada hal bersedekahnya saja, namun dalam setiap hal apapun yang kita lakukan, Tuhan mau kita melakukannya dengan “prinsip motivasi yang benar.”
Kita bersyukur bahwa kita selalu diingatkan (atau diperingatkan tepatnya) oleh Tuhan secara detail seperti ini. Betul-betul pribadi Bapa yang memang sayang pada anak-anak-Nya dan Bapa yang sedang membentuk anak-anak-Nya untuk memersiapkan masing-masing anak-anak-Nya menjadi sesuatu yang luar biasa di hari-hari ke depan. Sampai hal motivasi dalam bertindak pun harus betul-betul lurus. Artinya, jangan sampai kita menjadi orang yang terbiasa melakukan segala sesuatu dengan agenda-agenda tertentu di baliknya.
Alkitab mencatat dampak atas orang-orang yang melakukan sesuatu yang terlihat baik, namun ada motivasi terselubung di baliknya. Seperti misalnya ciuman yang diberikan Yudas kepada Yesus dan pemberian persembahan yang dilakukan Ananias dan Safira, dimana mereka semuanya mengalami akhir kisah yang menyedihkan.
Oleh sebab itu, beberapa prinsip yang harus kita pahami berkaitan dengan pesan Tuhan ini agar menjadi orang tidak memiliki motivasi yang salah dalam melakukan apapun juga. Beberapa di antaranya adalah:
(1). Lakukan perbuatan kebenaran dengan sebagaimana mestinya, tanpa mempertimbangkan apa yang orang lain akan pikirkan
Matius 6:1 “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.
Kata “melakukan kewajiban agamamu” di dalam bahasa aslinya adalah dikaiosune, yang artinya melakukan perbuatan kebenaran dengan penuh integritas, bukan atas dasar pertimbangan kepada hal-hal yang lain, seperti misalnya: apa kata orang lain, nanti orang lain akan berpikir apa tentang apa yang aku lakukan, dan lain-lain.
Yesus melarang para pengikut-Nya untuk memamerkan hal tentang sedekah di depan umum (ayat 1). Larangan ini tampaknya merupakan kritikan terhadap orang-orang Farisi dan ahli Taurat pada waktu itu. Yang dipersoalkan oleh Yesus bukanlah tempatnya. Beberapa tindakan sedekah memang tidak terelakkan harus dilakukan di depan publik. Inti persoalannya bukanlah tempat, melainkan hati. Motivasi hati seseorang. Itulah yang sedang disorot di sini. Kata “supaya dilihat mereka” (ayat 1) maupun “supaya mereka dipuji orang” (ayat 2) menyiratkan bahwa pokok masalah berada di sana. Untuk memenuhi motivasi ini, sebagian orang sengaja memperlihatkan kebaikan mereka.
Dalam budaya Yahudi, tidak ada tempat lain yang paling cocok untuk maksud terselubung ini daripada rumah-rumah ibadat (synagoge) dan lorong-lorong. Memberikan sedekah di dua tempat ini pasti akan dilihat oleh banyak orang. Synagoge adalah tempat ibadah dan pusat kehidupan sosial bangsa Yahudi. Lorong-lorong adalah tempat yang selalu dipenuhi oleh para pengemis, pedagang, dan pejalan kaki. Dua tempat ini ibarat “panggung yang megah” bagi para pencari reputasi. Apabila mau ditambahkan di zaman sekarang, salah satu tempat strategis untuk motivasi ini adalah media sosial. Namun jangan disalahpahami, karena ukuran yang digunakan bukan tempat atau sarananya, melainkan motivasi hatinya.
(2). Lakukan perbuatan kebenaran kita untuk kemuliaan-Nya, bukan untuk kemuliaan kita
Matius 6:3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.
Sebagai kontras terhadap apa yang dilakukan oleh para ahli Taurat dan golongan Farisi, Yesus mengajarkan dua hal penting. Yang pertama, pemberian bukan untuk mencari pujian dari orang lain. Pemberian harus dilakukan secara tersembunyi. Kita tidak usah memerlihatkannya kepada orang lain. Sekilas perintah ini sedikit membingungkan. Bukankah sebelumnya kita diperintahkan untuk “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat. 5:16)? Mengapa sekarang justru dilarang?
Pembacaan yang teliti akan menunjukkan bahwa Mat. 5:16 dan Mat. 6:1-4 tidak bertentangan sama sekali. Motivasi di balik Mat. 5:16 adalah bagi kemuliaan Bapa Sorgawi, sedangkan di Mat. 6:1-4 adalah bagi kemuliaan diri sendiri.
Yang kedua, pemberian bukan untuk mencari kepuasan diri. Di ayat 3 Yesus tidak hanya memeringatkan agar jangan ada orang lain yang tahu, melainkan juga agar jangan tangan kiri kita mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanan kita. Ungkapan tersebut bukan ditujukan kepada orang lain yang berada di sekitar kita, teman, sahabat, atau “tangan kanan” bagi wakil kita, melainkan respons dari dalam diri kita sendiri. Seorang yang memuji dirinya sendiri sama kadarnya dengan orang yang menginginkan pujian dari orang lain. Orang yang menginginkan sesuatu dari perbuatan baiknya justru tidak akan mendapat upah (reward) apa-apa dari Bapa di Sorga.
Mari jemaat Tuhan, melalui pesan-Nya ini kita diingatkan untuk selalu menjaga niat dan motivasi kita dalam melakukan apa pun agar tetap benar. Berikan segala pujian atas apa yang kita lakukan kepada Tuhan kita, karena hanya Dia yang layak menerima segala kemuliaan dan pujian, karena tanpa Dia di dalam kita, tidak ada seorang pun di antara kita yang akan menjadi baik atau berbuat baik.
Tuhan Yesus memberkati!