JANGAN SALAH “MENCUCI TANGAN”!
Matius 27:24 Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!”
Pontius Pilatus adalah Gubernur di daerah Yudea (yang mencakup Yerusalem) pada saat itu. Yesus yang telah ditangkap oleh orang-orang suruhan imam kepala Bait Allah, diserahkan kepada Pilatus. Pada saat itu Pilatus tahu bahwa Yesus tidak melakukan kesalahan apapun yang pantas dihukum mati. Oleh karena itu, Pilatus balik bertanya kepada orang Yahudi yang membawa Yesus, “Kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya?”, karena ia tidak menemukan kesalahan yang layak untuk diberikan hukuman mati. Tetapi saat itu, orang Yahudi justru semakin keras menekan Pilatus untuk menyalibkan Yesus.
Pilatus sendiri sudah mencoba untuk membebaskan Yesus, tetapi di sisi lain sudah mulai timbul kekacauan akibat orang Yahudi yang menghendaki Yesus disalibkan. Pilatus tahu bahwa jika terjadi kekacauan atau huru-hara di Yerusalem, dan hal tersebut sampai terdengar Kaisar di Roma, maka karir dan jabatannya terancam. Oleh karena itu, Pilatus melakukan tindakan yang menurutnya paling aman, yaitu “mencuci tangan” dan menyerahkan tanggungjawabnya
kepada orang-orang Yahudi. Maka dibebaskannyalah Barabas (yang adalah benar-benar seorang penjahat) sebagai pertukaran dengan Yesus, sedangkan Yesus disesahnya untuk kemudian disalibkan.
Memang sepintas lalu Pilatus sepertinya terlihat tidak bersalah karena ia sudah lepas tangan atau menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang-orang Yahudi. Tetapi sebenarnya apa yang dilakukan Pilatus tidak terlepas begitu saja di hadapan Tuhan. Sebagai seorang yang berpengaruh, Pilatus tidak dapat begitu saja mencuci tangan dan menyerahkan tanggungjawabnya kepada orang lain demi mengamankan dirinya, sekalipun seolah-olah orang-orang Yahudi dan keturunannya menyanggupi menanggung darah Yesus.
Apabila kita menyadari panggilan umum Tuhan atas setiap kita umat-Nya, adalah untuk menjadi para pemimpin, dalam pengertian menjadi orang-orang yang memberikan pengaruh ilahi dan sumbangsihnya, maka setiap kita tentunya sadar akan tugas dan tanggung jawab kita dengan posisi “pemimpin-pemimpin” yang dimaksud tersebut. Entahkah di sekolah, di kantor, di tempat pekerjaan, di rumah tangga, ataupun di kota yang Tuhan percayakan, kita harus berani memberikan pengaruh-pengaruh yang memiliki nilai Kerajaan Sorga kepada sekeliling kita.
Jadi menjadi pemimpin tidak hanya melulu bicara tentang posisi, hak atau fasilitas yang diterima. Menjadi pemimpin adalah berbicara tentang komitmen dan tanggung jawab yang besar. Bertanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk orang terdekat, anggota keluarga, tetapi juga untuk setiap orang, komunitas di sekeliling, bahkan kepada Tuhan.
Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita di minggu ini. Tuhan menghendaki kita umat-Nya untuk menyadari bahwa ada tanggung jawab besar yang sedang dipercayakan Tuhan atas kita, yang harus kita jaga dan pelihara dengan baik seperti yang Tuhan kehendaki, namun seringkali kita abaikan. Gagalnya umat Tuhan bertanggung jawab atas apa yang Tuhan percayakan atau dalam menjaga apa yang dipercayakan akan menimbulkan “kerusakan-kerusakan” yang tidak semestinya. Bahkan kerusakan yang luas.
Tuhan juga tidak menghendaki kita untuk menjadi orang-orang yang tidak peduli. Mungkin kita merasa bahwa kita tidak ada kaitan langsung dengan keadaan yang terjadi di kota ataupun di bangsa kita, namun bukan artinya kita tidak merasa perlu melakukan apa-apa untuk terjadinya pemulihan atas bangsa kita apabila kita paham tujuan keberadaan kita ditempatkan Tuhan di kota dan bangsa kita ini sebagai penerang.
Beberapa hal yang harus kita perhatikan berkaitan dengan pesan Tuhan ini, agar kita tidak menjadi seperti Pontius Pilatus yang akhirnya memilih untuk “mencuci tangan” tanda ia melepaskan tanggungjawabnya, di antaranya adalah:
(1). Tidak mengabaikan sesuatu yang kita tahu harus dilakukan (jangan berpura-pura tidak tahu)
Mat. 27:18 Ia memang mengetahui, bahwa mereka telah menyerahkan Yesus karena dengki.
Ketika orang-orang Yahudi datang menyerahkan Yesus kepada Pontius Pilatus untuk diadili dan dijatuhi hukuman mati, sebetulnya ia mengetahui bahwa semua tuduhan yang dilontarkan orang-orang kepada Yesus adalah tuduhan palsu. Pontius mengetahui bahwa mereka lakukan itu terhadap Yesus karena semata-mata dengki, bukan karena kesalahan Yesus. Popularitas Yesus yang semakin dikenal oleh orang banyak telah mengancam kedudukan para ahli Taurat, sehingga mereka ingin melenyapkan Yesus melalui tuduhan-tuduhan yang palsu tersebut.
Namun Pontius Pilatus yang mengetahui bahwa semua tuduhan yang dilontarkan orang-orang adalah palsu, ia tidak berani mengatakannya. Ia memilih untuk diam. Ia bahkan menawarkan sebuah solusi yang membuat Yesus semakin terpojok, yaitu dengan menawarkan pembebasan seorang penjahat kelas kakap yang bernama Barabas. Tujuannya adalah untuk mengambil hati orang banyak.
Bukankah sikap pura-pura tidak tahu yang dilakukan Pontius Pilatus sebetulnya tanpa disadari sering dilakukan oleh banyak orang. Misalnya, ketika mengetahui adanya seseorang yang sedang berada di “tepi jurang” yang membahayakan hidupnya, bukankah tidak sedikit orang memilih untuk mengabaikannya karena merasa bukan urusannya. Maka sebetulnya orang yang mengetahuinya tersebut akan bersalah, karena ia tahu harus berbuat sesuatu namun tidak melakukannya (Yak. 4:17). Orang menganggap sikap pura-pura tidak tahu ini sebagai alasan yang tepat untuk menghindari tanggung jawab.
(2). Tidak membiarkan orang lain menanggung kerugian demi kepentingan diri kita sendiri.
Mat. 27:23 Katanya: “Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukannya?” Namun mereka makin keras berteriak: “Ia harus disalibkan!”
Ada dua kontras yang terjadi, yang pertama, ada Yesus yang sedang menuju hukuman yang paling mengerikan, yaitu kematian di kayu salib. Siapa pun tidak ada yang berani menghadapinya. Hanya penjahat-penjahat kelas kakap yang harus menjalani hukuman mati di kayu salib. Sedangkan kalau kita kembali kepada Yesus, kesalahan apa yang dilakukan Yesus? Tidak ada! Ia sebenarnya korban dari imam-imam Yahudi yang mulai kehilangan popularitasnya karena Yesus. Namun Yesus rela menjalani salib demi untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Kontras yang kedua adalah Pontius Pilatus yang tidak berani menyatakan apa yang benar, karena ia berpikir apabila ia melepaskan Yesus, maka orang-orang Yahudi menjadi marah, sehingga bisa menimbulkan kerusuhan. Pertimbangan lainnya adalah pertimbangan politis, apabila ia melepaskan Yesus, ia akan dianggap membiarkan seorang yang mengaku-ngaku “raja” bagi orang Yahudi dibiarkan hidup. Pembiaran itu dapat membuat Kaisar Roma yang berkuasa saat itu murka kepadanya. Semua yang ia pikirkan adalah tentang kepentingan dirinya dan mana yang lebih menguntungkan dirinya, tidak peduli apakah ada orang lain yang dirugikan.
Mari jemaat Tuhan, melalui pesan-Nya ini Tuhan kembali mau mendudukkan posisi kita sebagai perwakilan Kerajaan-Nya di bumi. Orang-orang yang mau berdiri tegak mengambil tanggung jawabnya sebagai anak-anak terang dan sebagai orang-orang yang tidak mau membiarkan sesuatu yang tidak baik terjadi di depan mata kita, padahal kita tahu bahwa kita dapat melakukan sesuatu. Ingat, tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita adalah bukan untuk memersulit kita melainkan sebuah kehormatan.
Tuhan Yesus memberkati!