Lukas 24: 25 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!
Yesus tidak segan-segan mengatakan kepada dua orang murid-Nya dengan sebutan orang bodoh, karena melihat kelambanan hati mereka di dalam menangkap apa yang dikatakan para nabi melalui kitab-kitabnya yang telah ditulis sejak masa lampau mengenai hadirnya suatu saat seorang Mesias yang akan membebaskan umat manusia dari belenggu dosa melalui kematian-Nya di atas kayu salib.
Kedua orang murid tersebut didapati Yesus sedang dalam perjalanan menuju Emaus, yang adalah kampung halaman mereka. Alasan mereka kembali ke kampung halaman adalah karena kekecewaan mereka terhadap Yesus yang awalnya diharapkan tampil sebagai Mesias yang gagah perkasa hadir di tengah-tengah bangsa Isarel untuk melepaskan mereka dari belenggu penjajahan Romawi. Namun nyatanya, mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri, jangankan mengusir Romawi dari penjajahan, yang ada malah Yesus ditangkap, disiksa dengan cara yang kejam, dan kemudian dipakukan di atas kayu salib dan mati dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Meskipun setelah tiga hari mereka mendengar kabar dari murid-murid yang lain bahwa Yesus telah bangkit dari kubur, namun mereka dalam kegalauannya memutuskan untuk tetap pulang ke kampung halaman mereka.
Kebebalan hati kedua orang murid tersebut lebih disebabkan karena mereka lebih memercayai harapan pribadi mereka dan fakta seperti yang terlihat di depan mata jasmani mereka, dari pada kebenaran janji Tuhan seperti yang telah diucapkan para nabi melalui nubuatan mereka tentang kematian dan kebangkitan Sang Mesias seperti yang tertuang dalam Kitab Suci mereka. Bahkan bukan satu atau dua kali Yesus mengatakan secara langsung kepada para murid tentang mandat Kerajaan Sorga yang harus Ia genapi, yaitu mati di atas kayu salib, untuk kemudian bangkit dari kematian pada hari yang ketiga.
Kecerdasan dalam otak seseorang atau Intelligence Quotient (IQ) tidaklah menjamin bahwa orang tersebut juga akan cakap ketika menghadapi kehidupan nyata. Mungkin orang tersebut memiliki nilai akademik yang tinggi, namun seringkali gagal di dalam mengatasi problema dan kestabilan emosi. Itulah sebabnya, para ahli sejak tahun 90–an telah mengembangkan apa yang dinamakan Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotient (EQ). EQ ini merupakan cara lain bagi seseorang untuk dikatakan cerdas, karena memiliki kemampuan dalam hal mengatasi emosi pribadi maupun dalam hal berinteraksi dengan sesama. Namun kecerdasan inipun sangatlah terbatas, terbukti ketika banyak didapati orang-orang yang gagal dalam mengatasi problema kehidupan nyata. Banyak dari orang-orang ini didapati mengalami kepahitan, kekecewaan dan tidak sedikit pula yang tawar hati dan meninggalkan pelayanan, bahkan Tuhannya.
Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita, bahwa pentingnya setiap orang percaya mengalami pertumbuhan yang signifikan di dalam mengiring Tuhan lewat hubungan yang terus dibangun, sehingga ia bukan hanya hidup dengan mengandalkan kecerdasan otaknya saja atau kemampuannya dalam berinteraksi dengan sesama, namun juga cakap di dalam mengatasi masalah, memiliki daya tahan dan respon yang benar di dalam penderitaan, percaya pada apa yang dikatakan Tuhan serta menghidupinya, dan hidup dalam Visi Tuhan. Inilah yang dikatakan orang-orang yang memiliki Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Intelligence (Spiritual Quotient/SQ).
Beberapa hal yang berkaitan dengan kecerdasan spiritual, di antaranya:
(1). Mampu mempertahankan iman di tengah tekanan yang besar
Kis. 4: 13 Ketika sidang itu melihat keberanian Petrus dan Yohanes dan mengetahui, bahwa keduanya orang biasa yang tidak terpelajar, heranlah mereka; dan mereka mengenal keduanya sebagai pengikut Yesus.
Usai menyembuhkan seorang yang lumpuh di depan Pintu Gerbang Bait Allah, Petrus dan Yohanes dikerumuni oleh orang banyak yang ingin tahu lebih banyak tentang Yesus. Dari situlah mereka memberitakan bahwa di dalam Yesus ada kebangkitan dari antara orang mati. Hal ini membuat banyak sekali orang yang menjadi percaya kepada Yesus. Ada sekitar lima ribu orang yang bertambah ke dalam jumlah mereka. Hal ini menimbulkan kemarahan besar di antara pemimpin-pemimpin Yahudi serta tua-tua dan ahli Taurat. Mereka berencana menghadapkan Petrus dan Yohanes dalam sidang di Yerusalem.
Sidang membuktikan bahwa para imam tidak dapat menyangkal mujizat yang telah diadakan oleh Petrus dan Yohanes. Mereka memutuskan bahwa Petrus dan Yohanes dilarang untuk berbicara maupun mengajar lagi dalam nama Yesus. Namun dengan keberanian yang luar biasa mereka menjawab bahwa mereka lebih memilih untuk taat kepada Tuhan mereka dari pada kepada manusia.
Dilihat dari sisi latar belakang pendidikan akademik, para imam mendapati bahwa Petrus dan Yohanes bukanlah orang-orang yang terpelajar. Karena awalnya mereka menyangka bahwa kecerdasan otaklah yang membuat Petrus dan Yohanes mampu melakukan mujizat dan berani dalam mempertahankan iman mereka. Mereka tidak mengetahui, bahwa kecerdasan spirituallah yang membuat Petrus dan Yohanes mampu mempertahankan iman mereka.
(2). Mampu menangkap maksud hati Bapa di Sorga dengan tepat
Mat.16: 17 Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.
Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya tentang apa yang dikatakan orang-orang tentang diri-Nya yang disebut sebagai Anak Manusia itu. Beberapa di antara para murid mengatakan bahwa ada orang yang mengatakan bahwa Gurunya itu adalah Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia atau Yeremia atau salah seorang dari para nabi. Lalu Yesus ingin tahu pendapat para murid tentang siapa diri-Nya dengan mengajukan pertanyaan yang sama. Maka dengan sigap Simon Petrus mengatakan bahwa Gurunya adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.
Yesus langsung memuji Simon Petrus dan berkata, bahwa sepatutnyalah ia berbahagia, sebab bukan dari manusia ia memperoleh jawaban tersebut, melainkan melalui pewahyuan yang ia terima dari Bapa di sorga. Dari sekian banyak orang, termasuk murid-murid Yesus sendiri, tidak ada satupun yang dapat memberikan jawaban yang tepat, kecuali Simon Petrus.
Hari-hari ini, ada begitu banyak pemercaya dan pengajar yang memberikan penafsiran-penafsiran dan pengajaran firman yang kurang tepat dan keluar begitu jauh dari makna yang seharusnya. Banyak dari mereka yang hanya mengandalkan kemampuan intelegensia otaknya semata-mata, namun tidak melibatkan hikmat Allah melalui ketaatan firman dan hubungan yang intens dibangun dengan Bapa di sorga.
Tuhan Yesus memberkati!