Keluaran 4:1-2 Lalu sahut Musa: “Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan tidak mendengarkan perkataanku, melainkan berkata: TUHAN tidak menampakkan diri kepadamu?”
TUHAN berfirman kepadanya: “Apakah yang di tanganmu itu?” Jawab Musa: “Tongkat.”
Saat pertama kali Allah memanggil Musa untuk mengutusnya ke Mesir dengan tujuan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, ada begitu banyak pertanyaan yang keluar dari mulut Musa. Dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut bukanlah tentang bagaimana cara agar ia berhasil melaksanakan tugas yang besar itu, sebagai bukti antusiasmennya menanggapi panggilan Allah. Sebaliknya, pertanyaan Musa lebih merupakan ekspresi ketakutan, kekhawatiran, dan keragu-raguan akan kemampuan dirinya dalam melaksanakan mandat Allah tersebut. Musa tidak yakin karena ia merasa dirinya tidak pandai bicara bahkan ia lebih ragu lagi bahwa Firaun dan bangsa Israel akan bersedia mendengarkan perkataannya. Musa benar-benar merasa bahwa ia sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk tugas yang Allah percayakan tersebut.
Namun Allah tidak menanggapi segala ungkapan kekhawatiran Musa tersebut, melainkan balik bertanya apakah yang ada di tangan Musa saat itu. Kemudian Musa menjawab bahwa hanya ada sebuah tongkat di tangannya, namun bagi Allah cukuplah itu. Karena pada dasarnya Tuhan tidak memilih seseorang berdasarkan seberapa banyak yang dimilikinya, melainkan seberapa baik ia menanggapi kepercayaan Tuhan itu dengan seberapapun yang ada padanya. Bagi Tuhan, sebatang tongkat yang Musa miliki cukuplah untuk Ia pakai sebagai alat yang luar biasa di tangan-Nya. Yang diperlukan adalah apakah kita bersedia mempersilakan Allah berkarya lewat yang “sedikit” itu.
Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita, yaitu bahwa Tuhan mempunyai rencana besar bagi kita, dan Ia mau memakai kita sebagai alat yang luar biasa di tangan-Nya. Namun fokus kita seringkali bukannya ditujukan kepada seberapa luar biasanya Tuhan yang akan berkarya melalui kita, melainkan lebih diarahkan kepada seberapa yang ada pada diri kita. Ketika kita tahu bahwa tidak terlalu banyak hal yang kita miliki, maka diam-diam timbullah apatisme yang pada akhirnya mendorong kita berpikir bahwa tidaklah mungkin Tuhan dapat memakai kita, seperti sikap yang Musa tunjukkan kepada Tuhan. Hari-hari ini penekanan Tuhan sedang terus diarahkan kepada seberapa besar kita mau memandang akan kedahsyatan Tuhan dan bergantung kepada-Nya, bukan melihat kepada “kedahsyatan” hal-hal yang lain.
Mulailah bergerak dengan seberapa pun yang ada pada kita dan biarkan Tuhan berkarya dengan menjadikan yang kecil itu tumbuh besar, seperti yang Tuhan lakukan pada:
(1). Musa
Kel. 4:2 TUHAN berfirman kepadanya: “Apakah yang di tanganmu itu?” Jawab Musa: “Tongkat.”
Sampai hari ini, tidak ada tokoh besar dunia sepanjang sejarah yang dapat dicatat selain Musa, dimana ia dikenal bukan hanya sebagai seorang pembebas suatu bangsa pilihan Tuhan dan membawanya keluar dari Mesir saja, tetapi ia juga dikenal oleh dunia sebagai seorang ahli strategi militer yang mampu membawa jutaan orang keluar dari kejaran pasukan kerajaan Mesir yang dikenal sebagai bangsa yang besar di zamannya dengan kekuatan pasukan keretanya yang tangguh. Musa juga dikenal sebagai seorang ahli manajemen yang handal karena ia mampu mengatur sekian juta orang dengan segala permasalahannya dengan mengangkat kepala-kepala suku serta pemimpin-pemimpin bagian yang cakap di bidangnya masing-masing. Musa juga dikenal sebagai ahli logistik yang tidak tertandingi karena dapat mensuplai kebutuhan hidup jutaan orang setiap hari selama empat puluh tahun, tanpa pernah gagal. Namun kita tahu, di balik kesuksesan Musa ada tangan Tuhan yang dahsyat yang menopangnya.
Semua itu dimulai dari seorang Musa yang merasa tidak sanggup untuk menerima tugas besar dari Tuhan karena melihat segala kekurangan yang ada pada dirinya. Namun Tuhan kita bukanlah Tuhan yang memilih seseorang atas dasar seberapa besar dan seberapa banyak yang dimilikinya, namun seberapa tulus hatinya meskipun mungkin tidak terlalu banyak yang dimilikinya. Dan Musa didapati Tuhan sebagai seorang yang memenuhi kriteria yang Tuhan mau, di samping segala kekurangannya dan sebatang tongkat yang ia miliki. Bagi Tuhan, sebatang tongkat cukuplah untuk Ia beracara luar biasa melalui Musa. Kuncinya adalah mau bergantung sepenuhnya pada Tuhan.
(2). Seorang anak kecil
Yoh. 6:9 “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”
Ketika Yesus menyuruh murid-murid untuk memberi makan kepada lima ribu laki-laki yang sedang berbondong-bondong menantikan mujizat dari Yesus, maka kebingunganlah para murid, mereka memutar otak untuk mencari jalan bagaimana dan dengan cara apa mereka harus memberi makan kepada orang-orang yang jumlahnya mencapai ribuan ini. Adapun dua ratus dinar yang mereka miliki tidak akan cukup untuk dibelikan roti bahkan sekedar agar masing-masing mendapat sepotong kecil saja.
Di tengah keputusasaan para murid, didapatilah seorang anak kecil yang dengan spontan dan sukarela menyerahkan lima roti jelai dan dua ekor ikan untuk ia persembahkan guna mencukupi kebutuhan orang banyak itu. Namun kembali murid-murid memandang bahwa beberapa ikan dan roti tersebut sama sekali tidak memiliki arti apa-apa untuk orang sebanyak itu. Namun ketika Yesus melihatnya, maka diambil-Nyalah ikan dan roti tersebut, lalu Ia mengangkat tangan-Nya dan mengucap syukur kepada Bapa di Sorga kemudian mulai membagi-bagikannya kepada sejumlah besar orang yang ada pada waktu itu hingga semuanya tercukupi bahkan bersisa sekian bakul. Maka heranlah para murid menyaksikan kejadian tersebut. Dari peristiwa itu mereka belajar bahwa sesuatu yang sedikit sekalipun apabila dipersembahkan kepada Tuhan dengan hati yang tulus dan penuh ucapan syukur maka akan menghasilkan kuasa dan pelipatgandaan. Kuncinya adalah rela hati dan percaya sepenuhnya kepada Tuhan tanpa ragu-ragu
Umat Tuhan, seringkali mujizat dan kuasa Tuhan tidak terjadi di dalam kehidupan kebanyakan orang percaya bukan karena Tuhan tidak mampu melakukannya, namun seringkali otak kitalah yang terlampau picik dengan berpikir bahwa apatah yang dapat Tuhan lakukan dengan sedikit yang kita miliki itu. Kita lupa kalau kita memiliki Tuhan yang sanggup melakukan perkara besar, sekalipun dimulai dari sesuatu yang tidak berarti menurut pemikiran kita.
Tuhan Yesus memberkati!