Matius 26:15 Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.
Percakapan di atas merupakan percakapan antara Yudas dengan imam-imam kepala sebelum perjamuan terakhir dan berujung pada penyaliban, dimana Yudas menjanjikan para imam tersebut untuk menyerahkan Yesus kepada mereka. Namun janji untuk menyerahkan Yesus itu bukanlah tanpa syarat. Yudas ternyata meminta imbalan dan disepakatilah imbalannya berupa tiga puluh keping perak. Tiga puluh keping perak merupakan jumlah yang sama sekali tidak besar apabila dihitung baik pada masa dulu maupun di masa sekarang. Apalagi jumlah tersebut dipakai sebagai pembayaran nyawa bagi seseorang yang sesungguhnya tidak bisa dinilai oleh apapun juga.
Hal ini sangatlah bertolak belakang dengan peristiwa yang terjadi beberapa ayat sebelumnya, dimana belum lama berselang ada seorang wanita yang yang datang menemui Yesus yang kala itu sedang berada di rumah Simon si kusta. Wanita tersebut datang mendekat kepada Yesus dengan membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi (narwastu murni) yang sangat mahal harganya. Lalu minyak itu ia tuangkan ke atas kepala Yesus yang sedang duduk makan. Melihat apa yang dilakukan oleh wanita tadi kontan membuat salah seorang murid Yesus bernama Yudas menjadi gusar dan mengatakan bahwa apa yang baru saja dilakukan wanita tadi adalah sungguh-sungguh sebuah perbuatan pemborosan (Yoh. 12:4-6), bukankah minyak senilai tiga ratus dinar tersebut uangnya dapat dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin.
Betapa ironis apabila kita melihat apa yang terjadi dalam dua peristiwa tadi. Yang satu seorang wanita yang sangat menghargai Yesus sehingga rela mempersembahkan minyak yang sangat mahal ke atas kepala Yesus dengan cara menuangkannya, sedangkan yang satunya seorang murid yang rela mengkhianati Gurunya dengan cara “menjualnya” dengan harga yang sedemikian murahnya kepada para imam. Mengapa bisa terjadi demikian?
Yudas adalah salah seorang dari murid-murid Yesus yang sangat dikasihi oleh Gurunya. Ia juga termasuk bilangan murid yang senantiasa mendapatkan pengajaran yang sama dari Yesus. Yudas Iskariot termasuk seorang yang sangat beruntung. Ia dipilih secara pribadi oleh Yesus lewat sebuah pergumulan doa semalaman untuk menjadikannya seorang dari dua belas murid inti Yesus. Ia mengalami masa-masa hidup bersama Yesus selama lebih dari 3 tahun saat Yesus berada di bumi. Sebagai muridpun Yudas dipercayakan Yesus menjadi seorang bendahara, yang membuktikan bahwa ia adalah seorang kepercayaan Gurunya.
Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita di minggu ini. Berapakah nilai penghargaan yang selama ini kita berikan kepada Tuhan kita. Banyak orang percaya yang hidup dengan segala kelimpahan kasih anugerah yang begitu luar biasa dari Tuhan, seperti yang dialami oleh Yudas pada waktu itu. Namun tanpa disadarinya, ada hal-hal yang membuat ia ternyata memberikan penghargaan yang kurang tepat kepada Tuhan Yesus, bahkan seperti halnya Yudas yang rela “menjual” Yesus dan menukarnya dengan sesuatu yang menurutnya lebih berharga.
Apa yang membuat seorang percaya rela melakukan hal yang demikian?
(1). Hidup dalam ketidakjujuran
Yoh. 12:6 “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.”
Yudas menyimpan banyak ketidakjujuran dalam dirinya. Meskipun ia bersama-sama murid-murid lainnya senantiasa berjalan dan mendengarkan pengajaran-pengajaran yang luar biasa secara langsung dari Gurunya, namun ia tidak mengijinkan Firman untuk mengubahkan hidupnya. Parameter kejujuran seseorang dilihat dari bagaimana ia mengelola dan bertanggung jawab atas apa yang telah dipercayakan kepada dirinya. Kepada Yudas, salah satunya, telah dipercayakan tugas sebagai seorang pengelola keuangan atau bendahara. Banyak kepura-puraan yang ia dengan sengaja tunjukkan di depan banyak orang bahwa seolah-olah ia adalah seorang yang mengasihi jiwa-jiwa yang berkekurangan. Namun Yohanes mengetahui bahwa seringkali Yudas mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.
Jika seseorang sudah tidak jujur dalam satu aspek yang telah dipercayakan kepadanya, maka sesungguhnya ia sudah tidak jujur di dalam banyak hal dalam kehidupannya, termasuk kepada Tuhan. Sikap Yudas terhadap keuangan sudah menunjukkan bagaimana kasihnya kepada Tuhannya. Ketika seseorang lebih mengasihi sesuatu lebih dari pada Tuhan, maka sudah pasti ia rela mengorbankan apapun demi memperoleh apa yang ia kasihi, termasuk mengorbankan Tuhannya. Sebaliknya, ketika kasih seseorang makin mendalam kepada Tuhan, ia pasti akan rela mengorbankan apapun termasuk mengorbankan dirinya.
(2). Hidup dengan ambisi yang salah
Yoh. 6:67-71 (67) … “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (70) Jawab Yesus kepada mereka: “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis.”
Yudas mengikuti Tuhan dengan ambisi pribadi yang tersembunyi. Saat ia melihat Yesus mendemonstrasikan kehebatan-Nya, orang-orang yang mengikut Yesus makin bertambah. Makin terkenallah Yesus, dan orang-orang bahkan mulai mau menjadikan Yesus sebagai raja, Yudas diam-diam mendambakan sesuatu. Tetapi saat ia melihat Gurunya bukan berjalan ke tahta melainkan menuju salib, ia menjadi kecewa, ambisinya tidak terpenuhi. Yoh. 6 mencatat hal ini. Setelah mujizat lima roti dan dua ikan, orang-orang mendukung Yesus menjadi raja tetapi Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk memberi roti jasmani melainkan untuk menjadi roti yang terpecah. Saat itu banyak orang yang menjadi kecewa dan mengundurkan diri. Memang kedua belas murid tidak mengundurkan diri namun Yesus tahu bahwa satu dari mereka, yaitu Yudas, sebenarnya kecewa (Yoh. 6:70-71).
Memiliki ambisi dalam hidup bukanlah sesuatu yang salah, karena hal itu dapat memacu dorongan di dalam diri untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik, apalagi bila ditambah dengan memiliki tujuan yang selaras dengan apa yang dikehendaki Tuhan. Namun apabila hidup seseorang dipenuhi oleh ambisi pribadi dengan pengharapan yang muluk-muluk tanpa memikirkan potensi dan tanpa memahami tujuan Tuhan di dalamnya, maka orang yang demikian cenderung akan menghalalkan segala cara. Dan ketika segala cara mulai dijalankan, maka bukan mustahil kebenaran firman dan Tuhan sendiripun berani ia korbankan.
Mari jemaat Tuhan, ambillah waktu untuk merenungkan kembali tujuan pengiringan kita selama ini kepada Tuhan. Adakah motivasi-motivasi dan pengejaran-pengejaran yang salah di dalamnya? Karena apabila hal itu ternyata ada, maka biasanya seseorang akan mulai memberikan penghargaan yang salah kepada Tuhannya. Demikian sebaliknya.
Tuhan Yesus memberkati!