Ketika Dirimu Direndahkan (Pesan Gembala, 14 September 2025)

KETIKA DIRIMU DIRENDAHKAN

Matius 15:26 Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”

Suatu hari ada seorang perempuan Kanaan datang kepada Yesus, meminta tolong karena anak perempuannya kerasukan setan dan sangat menderita. Namun sepertinya Yesus tidak terlalu menghiraukannya. Ditambah pula sikap para murid yang berkata kepada Guru mereka untuk menyuruh perempuan ini pergi.

Dari beberapa sikap yang ditunjukkan Yesus dan para murid, ada satu perkataan Yesus yang terdengar kasar dan terkesan seperti merendahkan perempuan itu, yaitu ketika Yesus berkata: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Bayangkan, seandainya perkataan itu ditujukan kepada kita, apa reaksi kita? Berbagai reaksi mungkin saja kita tunjukkan, seperti kesal, marah, atau langsung pergi meninggalkannya.

Umumnya orang akan menjadi tersinggung apabila diperlakukan seperti itu. Dan apabila ego sudah tersinggung, maka berbagai reaksi salah akan bermunculan. Ada istilah zaman sekarang yang sering digunakan, yaitu “kena mental.” Arti “kena mental” adalah terguncangnya seseorang secara emosional akibat pengalaman yang tidak sesuai dengan harapan, seperti misalnya: kritikan pedas, tekanan sosial, trauma tertentu, diremehkan orang, dan sebagainya. Istilah “kena mental” ini berbeda dengan “gangguan mental,” namun seseorang yang “kena mental” bisa saja meningkat menjadi “gangguan mental” apabila tidak bisa mengatasinya.

Jangan kita berpikir hal direndahkan ini adalah sesuatu yang biasa. Di Alkitab tercatat sebuah nama, yaitu Ahitofel, seorang penasehat raja Daud yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Begitu bijaknya nasihat-nasihat yang ia berikan, sampai-sampai ia dikatakan “nasihatnya sudah seperti perkataan Tuhan.” Namun sayangnya, suatu hari ia menghabisi nyawanya dengan melakukan bunuh diri setelah merasa nasihatnya tidak didengar oleh raja, pada waktu peristiwa Absalom.

Itu merupakan salah satu dari berbagai reaksi yang dapat dilakukan seseorang ketika merasa dirinya direndahkan. Apakah ada niat raja untuk meremehkan Ahitofel? Sama sekali tidak. Ahitofel hanya merasa bahwa perkataannya sudah tidak didengarkan lagi.

Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita. Bahwa penting bagi kita, sebagai orang percaya, untuk selalu bereaksi tepat dan benar di saat orang-orang di sekeliling kita mungkin (dianggap) telah memerlakukan kita dengan perlakuan yang tidak baik menurut diri kita, seperti misalnya merendahkan diri kita. Setiap reaksi-reaksi salah yang kita tunjukkan ketika merasa diri direndahkan sudah pasti akan menimbulkan kerugian bagi diri kita sendiri dan bagi orang-orang di sekeliling kita.

Berbagai konsekuensi buruk dapat terjadi apabila seseorang membiarkan dirinya bereaksi salah ketika direndahkan oleh orang lain. Padahal belum tentu orang lain memiliki maksud untuk sengaja merendahkan dirinya. Anak seorang perempuan Kanaan mungkin akan tetap berada dalam keadaan kerasukan setan, bahkan lebih buruk lagi, seandainya ibunya tersinggung ketika direndahkan dan dikatakan “anjing” oleh Yesus, lalu pulang dengan sakit hati.

Tidak sedikit pula orang-orang percaya membiarkan dirinya minder, gara-gara “merasa” direndahkan oleh banyak orang, padahal Tuhan sudah mengangkat tinggi-tinggi hidupnya. Seharusnya, sebagai orang percaya, bangga dan bersyukurlah, karena kasih anugerah Tuhan yang luar biasa telah memilih dan menyelamatkan dirinya. Bahkan dipercaya oleh Tuhan sebagai kawan sekerja-Nya, yaitu sebagai duta Kerajaan Sorga. Setinggi apapun jabatan yang Tuhan percayakan akan menjadi tidak efektif ketika menyandang jabatan dalam keadaan luka.

Beberapa prinsip yang harus kita pahami berkaitan dengan pesan Tuhan ini agar kita sebagai orang percaya dapat tumbuh dan berkembang seperti  yang Tuhan inginkan, tanpa luka ketika “merasa” direndahkan oleh orang lain atau siapapun. Beberapa di antaranya adalah:

(1). Berani membuktikan siapa diri kita yang sesungguhnya

Matius 15:27 Kata perempuan itu: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”

Apabila perempuan Kanaan ini seorang yang “baperan” dan cepat “kena mental,” maka sudah pasti ia tidak akan pernah mengalami kuasa Tuhan dan anaknya pun akan tetap dalam keadaan kerasukan setan. Tetapi bersyukur bahwa perempuan ini memiliki cara pandang yang benar tentang siapa Yesus yang ia hampiri dan siapa dirinya.

Sebetulnya, Yesus sedang menguji iman perempuan Kanaan itu. Sejauh mana ia betul-betul rindu ingin mengalami kuasa Tuhan yang luar biasa dan sejauh mana ia mengetahui siapa Yesus ketika ia datang dan memanggil Yesus dengan mengatakan: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud…” Orang yang memanggil Yesus dengan sebutan Anak Daud mestinya paham bahwa Yesus itu bukan sekedar seorang Rabi biasa, melainkan Mesias. Namun, siapa pun bisa saja ikut-ikutan memanggil Yesus dengan sebutan Anak Daud tanpa paham makna yang sesungguhnya.

Itulah sebabnya, ketika Yesus mengatakan, “…anjing (Yun. kunarion= anjing kecil, puppy)itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya,” perempuan itu tidak tersinggung, karena ia menangkap maksud Yesus, bahwa sebagai “anjing kecil,”apapun yang jatuh dari “meja tuannya,” yang adalah Pribadi Yesus sendiri, pasti sesuatu yang dahsyat. Dan itu cukup bagi dia. Hal inilah yang membuat Yesus kagum kepada iman perempuan ini. Dan sembuhlah seketika anaknya itu.

(2). Berani mengubah penghinaan sebagai “bahan bakar” untuk maju

Matius 15:27 Kata perempuan itu: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”

Sebetulnya, tantangan yang dihadapi perempuan Kanaan ini bukan hanya dikatakan sebagai “anjing yang memungut remah-remah dari meja tuannya” saja, namun dari sejak awal bukankah perempuan ini sudah tidak diladeni (Yesus tidak menjawab perkataannya), murid-murid meminta Yesus mengusirnya, ia bukanlah prioritas pelayanan Yesus, lalu barulah ia dibilang “anjing.” Yang luar biasa, hal-hal itu tidak membuat perempuan Kanaan ini menjadi kecewa dan undur, seperti yang umumnya orang-orang lakukan.

Penyebab utamanya adalah karena ia memiliki tekad atau determinasi yang kuat akan Pribadi siapa yang ia datangi, yang bisa melepaskan anaknya dari segala kuasa kegelapan. Maka apapun tantangan dan halangan yang menghadang di depannya, tidaklah membuat ia menjadi kecewa dan marah. Bahkan sebaliknya, hal-hal itu malah semakin membakar tekadnya untuk pantang menyerah.

Ingat akan Daud, sepanjang hari-hari hidupnya ia banyak mengalami perendahan dari banyak orang. Mulai dari orang tuanya sendiri, kakak-kakaknya, raja Saul, bahkan Goliat sendiri sebagai lawanpun tidak memerhitungkan dirinya sebagai lawan yang sepadan. Apa yang Daud lakukan dengan semua itu? Apakah ia kemudian marah dan kecewa? Tidak. Malahan hal-hal itu menjadi “bahan bakar” bagi dirinya untuk membuktikan bahwa ia memiliki Tuhan yang besar.

Mari jemaat Tuhan, sadari bahwa kita tidak bisa membungkam mulut orang-orang untuk melarang mereka mengucapkan perkataan-perkataan yang merendahkan kita. Kita juga tidak berhak mengatur perilaku orang-orang untuk selalu berlaku manis terhadap kita. Namun kita berhak menentukan sikap hati kita untuk tidak turut terpengaruh akan semua yang dilakukan orang-orang. Kita berhak memertahankan tujuan Tuhan yang luar biasa dalam hidup kita. Kita berhak maju terus dan menang bersama Tuhan.

Tuhan Yesus memberkati!

Ketika Dirimu Direndahkan (Pesan Gembala, 14 September 2025)

| Warta Jemaat |
About The Author
-