Jangan Kehilangan Pengharapan (Pesan Gembala, 20 Oktober 2024)

JANGAN KEHILANGAN PENGHARAPAN

Kisah Para Rasul 27:20-21 (20) Setelah beberapa hari lamanya baik matahari maupun bintang-bintang tidak kelihatan, dan angin badai yang dahsyat terus-menerus mengancam kami, akhirnya putuslah segala harapan kami untuk dapat menyelamatkan diri kami.

Saat itu kapal yang membawa rasul Paulus dan penumpang lainnya dalam perjalanan ke Roma mengalami terpaan badai yang dahsyat. Sulit untuk membayangkan seperti apa rasanya diombang-ambingkan oleh gelombang laut yang besar tersebut. Mereka telah mencoba segala cara untuk menjaga kapal untuk tetap terapung, bahkan sampai membuang kargo dan peralatan kapal ke laut, tetapi tetap saja situasinya tidak berubah.

Tiga hari dalam keadaan dilanda badai dengan sedikit makanan dan air, mereka pasti mengalami kelaparan, dan ketakutan. Ketika matahari dan bintang-bintang tidak muncul selama berhari-hari dan badai terus mengamuk, mereka akhirnya kehilangan harapan untuk dapat selamat (ayat 20). Hanya ada satu kesimpulan yang dapat diambil, mereka merasa riwayatnya telah tamat dan tenggelam bersama kapal.

Namun yang luar biasa, rasul Paulus, meskipun dalam posisinya sebagai tawanan pasukan Romawi, menyadari sekali situasi yang orang-orang alami, ia berdiri di tengah-tengah mereka, angkat bicara untuk menyemangati mereka bahwa jangan sampai satu orangpun kehilangan pengharapan. Ia mengatakan bahwasemalam seorang malaikat dari Allahberdiri di sisinya mengatakan kepada dirinya untuk jangan ia menjadi takut, karena Tuhan menghendaki dirinyaharus menghadap kaisar di Roma. Jadi artinya,semua orang yang ada bersama-sama dengannya akan turut menjadi selamat.

Hal yang sama dengan kondisi orang-orang percaya saat ini, mungkin ada yang sedang  bergumul untuk sesuatu hal, seperti misalnya sedang mengharapkan terobosan dalam karir, finansial, pemulihan hubungan, pilihan akan pasangan hidup, pemulihan kesehatan, dan lain-lain, dimana kondisinya mungkin bagaikan “orang-orang yang sedang berada di kapal” yang belum melihat adanya tanda-tanda gelombang akan mereda.

Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita. Apapun keadaan yang sedang kita hadapi, pesan Tuhan jelas sekali berkata, jangan kita sampai kehilangan pengharapan. Roma 5:3-5 mencatat bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji. Tahan uji menimbulkan pengharapan, dan pengharapan (dalam Tuhan) tidak pernah mengecewakan.

Ketika orang percaya berada dalam badai yang berkepanjangan, kelemahan terbesar orang percaya adalah cepat mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tidak memegang kendali lagi atas hidupnya, Tuhan tidak lagi memerdulikan dirinya, atau Tuhan pilih kasih. Dan akibatnya, ia menjadi orang-orang percaya yang apatis, dingin, dan kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Akhirnya, hal-hal besar yang sedianya Tuhan mau lakukan menjadi terhapus juga.

Beberapa prinsip penting yang perlu kita miliki agar menjadi orang percaya yang tidak mudah kehilangan pengharapan, salah satu di antaranya adalah:

(1). Pentingnya memiliki senantiasa perkataan Tuhan, karena perkataan Tuhan itu bagaikan “tali” pegangan.

Kisah Para Rasul 27:22-24

(23) Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku,

(24) dan ia berkata: Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau.

Satu hal yang membuat rasul Paulus bukan hanya yakin tentang dirinya akan aman tiba di tujuan yang Tuhan kehendaki, namun ia berani meyakinkan kepada seluruh 276 orang yang ada bersama-sama dengan dia di atas kapal bahwa mereka semua akan selamat karena dirinya (ayat 37), yaitu ketika ia menerima perkataan dari Tuhan yang disampaikan oleh malaikat kepadanya.

Seringkali kita sebagai orang percaya sering mendengar bahwa kita harus “berharap kepada Tuhan,” tetapi sejujurnya, tidak banyak orang percaya tahu apa artinya itu. Ia mencoba untuk berharap, namun tetap saja tidak terjadi apa-apa. Akhirnya, berharap itu menjadi sekedar “bahasa rohani” yang klise. Mencoba berharap, tetapi seperti tidak nyata. Harapan seakan-akan hanyalah sebuah perasaan. Apakah benar bahwa berharap hanyalah sebuah perasaan?

Di PL ada sebuah ayat yang tidak asing bagi kita hari-hari ini. Yosua 2:18 sesungguhnya, apabila kami memasuki negeri ini, haruslah tali dari benang kirmizi ini kauikatkan pada jendela tempat engkau menurunkan kami, dan ayahmu serta ibumu, saudara-saudaramu serta seluruh kaum keluargamu kaukumpulkan di rumahmu.

Dalam ayat ini, kata “tali” yang digunakan adalah tiqvah yang memiliki makna “harapan.” Jadi berharap pada Tuhan bukanlah semata-mata perasaan, melainkan tindakan menangkap “tali” yang dipegang oleh Tuhan untuk dilemparkan kepada kita.

Jadi, bagaimana kita tahu jika seseorang sedang menaruh harapannya pada Tuhan atau pada sesuatu yang lain? Dengan melihat pada apa yang ia “ikat” selama ini dalam hidupnya sebagai sumber keamanan utamanya. Apabila ia berharap pada Tuhan, maka akan mudah terlihat bahwa ia sedang mengikatkan dirinya pada hal-hal yang dari Tuhan dan bertindak sesuai dengan apa yang telah ia ikatkan tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang sedang menaruh harap pada “yang lain” (meskipun di mulut dan di perasaannya ia mengaku sedang berharap pada Tuhan), lihat apa yang sedang ia ikatkan dalam hidupnya selama ini. Apa yang telah ia luangkan waktunya selama ini dan ia merasa aman dengannya, maka kesitulah ia sebetulnya sedang menaruhkan harapannya.

Mari jemaat Tuhan, ketika Tuhan memberikan pesan ini agar jangan kita kehilangan pengharapan kepada Tuhan, artinya jangan kita lepaskan “tali” yang Ia telah lemparkan kepada kita, yaitu dengan melepaskan ketekunan kita kepada Tuhan, ketaatan kita, tuntunan firman-Nya, persekutuan intim kita, dan sebagainya, lalu “mengikatkan” diri pada hal-hal yang bukan tentang Tuhan.

Tuhan Yesus memberkati!

Jangan Kehilangan Pengharapan (Pesan Gembala, 20 Oktober 2024)

| Warta Jemaat |
About The Author
-